Batubara – LibasNews7.Com
Keadilan seharusnya menjadi pelindung bagi semua, terlebih bagi warga lanjut usia yang rentan secara sosial dan ekonomi. Namun, kisah getir yang dialami Piter Tampubolon (70), warga Dusun Tengah, Desa Pematang Cengkring, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batu Bara, justru menyingkap sisi gelap penegakan hukum di akar rumput di mana kebebasan seseorang diduga bisa ditebus dengan uang.
Kepada awak media pada 5 November 2025, di kediamannya yang sederhana, Piter dan istrinya, boru Damanik, dengan suara bergetar menceritakan kejadian yang mereka alami.
“Tanpa ada surat pemberitahuan pemanggilan, orang Polsek Medang Deras datang ke rumah kami dan langsung membawa suami saya,” ungkap boru Damanik. “Tiga hari suami saya ditahan, lalu saya dapat kabar dari polisi bahwa Piter sakit, berak darah di dalam tahanan.”
Menurut pengakuannya, saat itulah muncul tawaran “jalan keluar” dari salah seorang oknum polisi bermarga Hutahayan, yang menyarankan agar dilakukan penangguhan penahanan.
> “Saya bilang saya tidak paham, lalu saya tanya berapa biayanya. Hutahayan bilang jumpai penyidik namanya Hendro. Saat saya temui Hendro, dia minta empat juta. Saya bilang cuma punya dua juta, jadi saya kasih dua juta untuk penangguhan suami saya,” jelas boru Damanik.
Namun, kisah tak berhenti di situ. Saat sidang pertama Piter di Kisaran, Hendro kembali meminta Rp300.000 dengan alasan “uang minyak”.
> “Saya tak tahu apa-apa soal hukum, jadi saya kasih saja, Pak,” ucapnya lirih.
Sementara itu, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap./37/VI/RES.1.6/2025/Reskrim, Piter resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan. Namun, hingga berita ini diterbitkan, Kapolsek Medang Deras, AKP AH Sagala, belum memberikan tanggapan ataupun klarifikasi terkait dugaan pungutan liar tersebut.
Kasus ini bukan sekadar soal dua juta rupiah. Ini adalah cermin ketimpangan kuasa, di mana hukum seolah bisa dinegosiasikan dengan nominal tertentu. Bila benar adanya uang “penangguhan” itu, maka praktik semacam ini jelas mencederai prinsip due process of law dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Penangguhan penahanan dalam hukum bukanlah hak istimewa berbayar. Itu adalah hak hukum tersangka, selama memenuhi syarat formal dan jaminan objektif. Bila syarat-syarat itu digantikan dengan uang tunai, maka keadilan telah digadaikan di meja penyidikan.
Keterbukaan dan integritas adalah napas utama institusi penegak hukum. Karena itu, awak media mendesak Divisi Propam Polda Sumatera Utara untuk segera mengusut tuntas dugaan adanya pungli dalam proses penangguhan penahanan di Polsek Medang Deras.
Jika dibiarkan, praktik seperti ini akan menjadi virus budaya korup di tubuh penegak hukum, yang pada akhirnya menjerumuskan masyarakat miskin sebagai korban berulang sistem yang timpang.
Keadilan tidak seharusnya punya harga. Dan jika benar penangguhan penahanan Piter Tampubolon “berbandrol” dua juta, maka ini bukan hanya urusan etik ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah Tri Brata dan Catur Prasetya.
Kami akan terus menelusuri perkembangan kasus ini dan menunggu klarifikasi resmi dari pihak Polsek Medang Deras serta Polda Sumatera Utara. Transparansi adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah lama tergerus oleh praktik “uang pelicin” di ruang keadilan.
(TEM)
