Belawan — LIBAS NEWS7.COM
Kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Satpas Satlantas Polres Belawan kembali mencuat dan menyita perhatian publik. Pasalnya, seorang warga Medan mengaku dipungut biaya sebesar Rp650 ribu untuk penerbitan SIM C, jauh di atas Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam aturan resmi, biaya penerbitan SIM C tercantum jelas dalam PP No. 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Polri. Di situ tertulis, biaya resmi penerbitan SIM C hanya sebesar Rp100 ribu, belum termasuk biaya pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang umumnya tidak melebihi total Rp150 ribu.
Namun faktanya, pengakuan warga pada tanggal 29 Juli 2025 mengungkap adanya pungutan yang mencapai Rp650 ribu — lebih dari enam kali lipat dari tarif resmi. Ini jelas bukan sekadar kesalahan prosedur, melainkan indikasi kuat praktik penyimpangan yang terorganisir.
Ironisnya, saat kasus ini mencuat ke publik dan bahkan viral di sejumlah media online, Kasat Lantas Polres Belawan, AKP Edward Simanjuntak, memilih bungkam. Awak media yang mencoba meminta klarifikasi melalui pesan WhatsApp tidak mendapat respons. Sikap tutup mulut ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar.
Apakah AKP Edward memang sengaja menghindari klarifikasi? Ataukah ini refleksi dari alergi terhadap media dan ketakutan membuka borok internal? Lebih jauh lagi, apakah dugaan pungli ini sengaja dibiarkan agar terus menjamur, membentuk praktik “biasa” dalam pelayanan publik yang seharusnya bersih dan transparan?
Sikap bungkam perwira polisi yang seharusnya menjadi pengayom justru mengesankan ketidakpedulian dan tidak profesional dalam menyikapi sorotan publik. Padahal, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, institusi negara, termasuk Polri, wajib memberikan akses informasi kepada masyarakat, terlebih dalam isu yang menyangkut pelayanan publik dan potensi penyimpangan keuangan.
Sementara itu, Dirlantas Polda Sumut Kombes Pol Firman Darmansyah, S.I.K., diharapkan bersikap tegas dan profesional dalam menyikapi kinerja jajarannya. Kasus ini tak bisa hanya dianggap sebagai “isu lokal” semata. Sebab, diamnya pimpinan di tingkat bawah akan mencoreng citra institusi di tingkat atas — dan memperkuat stigma bahwa pungli di Satpas hanyalah “rahasia umum” yang tidak pernah ditindak.
Publik butuh jawaban, bukan pembiaran.
Kepolisian harus menunjukkan keseriusan dalam membenahi pelayanan SIM yang kerap menjadi ladang empuk bagi oknum tak bertanggung jawab. Jika tidak, jangan salahkan masyarakat jika kepercayaan terhadap institusi ini terus merosot.
Dalam konteks penegakan hukum dan pelayanan publik, ketegasan dan transparansi adalah keharusan, bukan pilihan.(TIM)