Skandal “SIM Tembak” di Satlantas Polres Batu Bara: Warga Dipungut Rp600 Ribu Tanpa Uji Praktik

SUMATRA UTARA,LIBAS NEWS7.COM

Batu Bara, 26 Mei 2025 — Praktik percaloan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) tanpa prosedur resmi, atau yang dikenal sebagai “SIM tembak”, kembali mencoreng wajah institusi Polri. Kali ini, skandal tersebut menyeruak di Satlantas Polres Batu Bara, Sumatera Utara, setelah seorang warga mengungkap pungutan liar dalam proses penerbitan SIM C.

JM, warga Medang Deras, secara blak-blakan mengakui kepada awak media bahwa dirinya diminta membayar Rp600 ribu oleh seseorang bernama Amir untuk memperoleh SIM C, tanpa melalui tahapan uji praktik sebagaimana diwajibkan oleh peraturan.

“Enam ratus ribu, Bang, aku diminta sama Amir untuk SIM C. Ya mau gak mau kukasih, soalnya aku butuh SIM itu. Kalau dipikir-pikir, ya terbilang mahal, Bang,” ungkap JM, Senin (26/5), di area Mapolres Batu Bara.

Pengakuan ini sontak menuai gelombang kritik tajam dari masyarakat dan pemerhati hukum. Praktik ini tidak hanya melanggar standar operasional prosedur (SOP) pembuatan SIM sebagaimana diatur dalam Perkapolri Nomor 9 Tahun 2012, tetapi juga menandai masih kuatnya kultur korupsi di institusi pelayanan publik.

Dalam SOP resmi, penerbitan SIM C mewajibkan pemohon untuk mengikuti tahapan lengkap mulai dari pendaftaran, tes kesehatan, ujian teori, hingga ujian praktik mengemudi. Biaya resmi untuk penerbitan SIM C tercatat sebesar Rp100 ribu sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang PNBP Polri.

Namun, kenyataannya, pungutan yang dialami JM enam kali lipat dari biaya resmi, tanpa proses uji kemampuan berkendara. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal serta dugaan keterlibatan oknum dalam praktik percaloan yang menggurita.

Menyikapi kasus ini, desakan terhadap Kapolres Batu Bara dan Divisi Propam Polri untuk melakukan audit menyeluruh dan penindakan tegas terhadap oknum terlibat makin menguat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti-korupsi menilai praktik ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga masuk dalam kategori pungli dan penyalahgunaan wewenang.

“Kalau institusi kepolisian ingin bersih dan dipercaya publik, tak bisa lagi kompromi terhadap praktik SIM tembak. Harus ada penegakan hukum, bukan sekadar permintaan maaf atau pemindahan oknum,” ujar Heru Sinaga, Direktur LBH Keadilan Rakyat.

Skandal ini menjadi ironi di tengah gencarnya upaya reformasi birokrasi dan pelayanan digital di tubuh Polri. Alih-alih menjadi lembaga yang transparan dan profesional, kasus seperti ini justru menegaskan bahwa praktik kotor masih bercokol di bawah permukaan.

Masyarakat menanti, apakah skandal ini akan benar-benar diusut tuntas, atau hanya akan menjadi catatan buram lain yang dilupakan oleh waktu.

(Z.abidin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *