MMEDAN,LIBASNEWS7.COM
Skandal pungutan liar (pungli) dalam proses penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satlantas Polrestabes Medan bukan hanya aib institusi, tapi juga alarm keras akan bobroknya pengawasan internal Polri. Di tengah kampanye reformasi dan jargon “Presisi”, praktik semacam ini justru mencerminkan antitesis dari visi tersebut.
Warga berinisial DN dipalak hingga Rp850 ribu demi selembar SIM A—angka yang mencolok jauh dari tarif resmi Rp120 ribu sebagaimana ditetapkan PP No. 76 Tahun 2020. Kasus ini bukan insiden tunggal. Ini pola. Pungli bukan lagi dilakukan di bawah meja, tapi sudah menjelma menjadi “prosedur baru” yang dilegalkan secara diam-diam.
Yang lebih mencengangkan, pengakuan blak-blakan seorang calo berinisial WS menguak keterlibatan aparat sendiri. WS menyebut oknum polisi berinisial Purba, yang disebut kerap memfasilitasi pembuatan SIM B2 secara “kilat”—tanpa uji teori, tanpa praktik, tanpa mekanisme yang semestinya.
> “Langsung tembak, Bang. Udah 14 kali aku urus SIM lewat si Purba,” aku WS kepada awak media.
Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini kriminal. Dan jika hukum benar-benar berlaku, maka Pasal 423 KUHP dan sanksi etik dalam Perkap No. 14 Tahun 2011 sudah cukup untuk menyeret para pelaku ke ruang sidang dan menghapus nama mereka dari institusi yang mereka cemarkan,Namun sayang, langkah penegakan itu seolah mati di tempat.
Kapolrestabes Medan hanya melempar komentar singkat, “Saya cek ya, Bang”—tanpa tindak lanjut, tanpa transparansi, tanpa kejelasan.
Lebih tragis lagi, Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut yang seharusnya jadi garda pertama dalam penertiban, justru memilih bungkam.
Awak media yang mencoba mengkonfirmasi justru menghindar seakan dianggap seperti pengganggu. Tidak ada klarifikasi dari Dirlantas Kombes Pol Firman Darmansyah. Tidak ada sikap, apalagi tanggung jawab
Apakah pembiaran ini bentuk ketidaktahuan? Atau justru kesengajaan? Yang jelas, ketika pimpinan menutup mata dan telinga, institusi kehilangan arah. Dan publik? Kembali menjadi korban dari sistem yang korup—membayar mahal untuk hak yang seharusnya murah dan mudah.
Pungli SIM bukan soal retribusi liar semata. Ia adalah akar dari ketidakadilan struktural yang membuat hukum terasa mahal dan kepatuhan jadi beban.
Jika hari ini Polri membiarkan ini berlalu begitu saja, maka jangan salahkan publik bila kepercayaan makin runtuh. Di titik ini, diam adalah bentuk keterlibatan.
Institusi sebesar Polri tak akan runtuh karena satu dua oknum. Tapi ia akan hancur jika para pemimpinnya terus memilih bungkam, menghindari konfirmasi, dan menunda bersih-bersih.
Kombes Firman, bola kini ada di tangan Anda. Terus diam, maka Anda bagian dari masalah.(Korwil Sumut dan team)