Batubara – Libas News7.Com
Sumatera Utara-Slogan Polri Presisi tampaknya kembali tercoreng di Kabupaten Batubara. Aroma pungli kian menyengat dari balik meja pelayanan publik, kali ini menyeruak dari tubuh Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Batubara yang dipimpin AKP Simon. Pasalnya, tarif pembuatan dan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) diduga melambung jauh di atas harga resmi yang diatur oleh negara.
Hasil konfirmasi awak media pada 10 November 2025 menguak fakta mencengangkan. Sejumlah warga Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara, mengaku dimintai biaya tak masuk akal saat mengurus SIM melalui layanan SIM Keliling.
> “Kalau saya SIM C 550 ribu, pak. SIM A baru 650 ribu, dan perpanjangan SIM A 400 ribu. Padahal katanya resmi, tapi kok segini?” keluh tiga warga Medang Deras dengan nada kesal.
Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tarif resmi penerbitan SIM sangat jelas: SIM C Rp100.000, SIM A Rp120.000, dan perpanjangan masing-masing hanya Rp75.000–Rp80.000.
Artinya, ada selisih ratusan ribu rupiah yang diduga kuat mengalir ke kantong oknum petugas.
Ironisnya, meski isu ini sudah ramai dibicarakan warga dan mencuat di ruang publik, baik Kasatlantas AKP Simon maupun Kapolres Batubara memilih diam. Awak media yang mencoba meminta klarifikasi secara resmi tak kunjung mendapat tanggapan.
Sikap bungkam itu justru memantik tanda tanya besar: apakah praktik ini hanya ulah oknum atau ada sistem yang sengaja dibiarkan berjalan?
“Kalau semua warga dimintai segitu, berarti ini bukan kesalahan individu. Ini sudah sistematis,” tegas seorang tokoh masyarakat Medang Deras yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan “bisnis tarif SIM” ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Polri yang selama ini berupaya keras membangun citra pelayanan bersih dan transparan kini kembali harus menghadapi kenyataan pahit: oknum di lapangan justru memeras rakyat di bawah bendera institusi negara.
Masyarakat menilai praktik ini sebagai bentuk penyimpangan terstruktur yang melibatkan lebih dari satu tangan. Ketika pungli dibungkus dengan alasan “biaya tambahan”, publik berhak marah. Mereka tidak menolak membayar biaya resmi, tapi menolak diperas oleh aparat yang seharusnya melindungi, bukan membebani.
Atas temuan tersebut, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Whisnu Hermawan didesak untuk segera menurunkan Propam Polda Sumut guna memeriksa Kasatlantas AKP Simon dan jajaran Polres Batubara.
Jika terbukti benar ada permainan tarif dan praktik pungli, maka penegakan hukum harus berlaku tanpa pandang bulu. Pencopotan jabatan dan proses pidana harus dijalankan sebagaimana diatur dalam Pasal 12E Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Pelayanan SIM seharusnya menjadi simbol profesionalisme dan integritas Polri di mata masyarakat. Namun ketika tarif resmi negara dikangkangi, dan warga kecil dijadikan ladang bisnis, maka kepercayaan terhadap Polri akan runtuh seperti rumah tanpa pondasi moral.
Kasus di Polres Batubara ini hanyalah satu contoh kecil dari persoalan besar: lemahnya pengawasan internal dan lunturnya rasa malu di tubuh aparat.
Kini bola panas ada di tangan Kapolda Sumut. Publik menunggu langkah konkret bukan sekadar janji.
Karena jika dibiarkan, pelayanan SIM di Batubara akan terus menjadi “ATM berjalan” bagi oknum berseragam, sementara rakyat terus diperas atas nama prosedur.
Warga sudah lelah. Kami bukan mesin uang polisi. Kami hanya ingin pelayanan yang jujur, adil, dan sesuai hukum.
(RD/TEM)
