LIBAS NEWS7.COM-BATU BARA
Dunia pendidikan kembali tercoreng. Alih-alih menjadi ruang penggemblengan karakter dan kecerdasan, SD Negeri 24 Desa Mandarsah, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batu Bara, justru diduga menjelma menjadi ladang pungutan liar (pungli) berkedok kegiatan edukasi.
Informasi yang dihimpun, pihak sekolah menggandeng CV Mandiri Multi Media untuk membagikan kacamata karton-plastik dan menggelar pemutaran film “3 Dimensi” yang diklaim bernuansa pendidikan. Namun di balik itu, setiap siswa wajib membayar Rp 20.000.
Sejumlah wali murid merasa dikecewakan. Film yang ditayangkan tidak lebih dari hiburan murahan tanpa bobot edukatif, sementara kacamata yang diberikan tak ubahnya mainan murah.
> “Kami keberatan, masa anak-anak dipungut biaya hanya untuk nonton film yang katanya 3D, padahal jelas tidak ada manfaatnya. Kacamata pun murahan dari karton dan plastik,” ujar salah satu wali murid dengan nada kesal.
Lebih ironis, ketika dikonfirmasi, salah seorang pihak sekolah terbata-bata mengakui pungutan itu, berdalih untuk mendukung kegiatan nonton bareng. Dalih yang justru menelanjangi praktik bisnis terselubung di balik dinding sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dengan jelas melarang pungutan dalam bentuk apapun, kecuali melalui mekanisme resmi yang transparan dan sesuai aturan. Apalagi pungutan yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan mutu pembelajaran.
Fakta bahwa pungutan Rp 20.000 itu hanya untuk film murahan sudah cukup membuktikan: sekolah melangkahi aturan secara terang-terangan. Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi—melainkan pelecehan terhadap amanah pendidikan. Anak-anak dijadikan objek empuk komersialisasi.
Kepala Dinas Pendidikan Batu Bara wala Wili Sagala saat dikonfirmasi awak media berjanji
> “Terima kasih infonya pak, segera akan kami tindaklanjuti laporan bapak. Jika benar adanya pungutan tersebut akan kami tindak tegas,” katanya via WhatsApp.
Namun ironis, pernyataan Kabid SD Dinas Pendidikan Batu Bara Ardat justru seolah memberi restu atas praktik ilegal ini.
> “Ya jika pungutan itu suka rela tidak masalah, selagi mereka memberikan suka rela,” cetusnya ringan.
Sebuah komentar yang menyesatkan publik. Bagaimana bisa pungutan di sekolah yang jelas melanggar aturan malah dicuci tangan dengan dalih “suka rela”? Bukankah kewajiban Dinas Pendidikan adalah melindungi siswa, bukan mengaminkan pungli?
Kasus ini tidak bisa hanya diseret ke ranah birokrasi. Pungli adalah tindak pidana. Aparat penegak hukum (APH), khususnya Polres Batu Bara, punya kewajiban untuk turun tangan. Jika dibiarkan, publik akan kian yakin bahwa hukum di negeri ini tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pertanyaan publik kini menggelayut: Apakah Kapolres Batu Bara berani menindak praktik pungli di sekolah, atau justru memilih bungkam seperti kasus galian C ilegal yang juga kerap dibiarkan?
Kasus pungutan Rp 20.000 di SD Negeri 24 Desa Mandarsah adalah alarm keras. Jika tidak segera dihentikan, praktik serupa akan terus menjamur di sekolah-sekolah lain. Dunia pendidikan akan kehilangan marwahnya, dan anak-anak akan terus diperlakukan sebagai “lahan basah” bisnis terselubung.
Anak-anak datang ke sekolah untuk menimba ilmu, bukan menjadi korban pungli. Pendidikan adalah amanah bangsa, bukan ruang transaksi murahan.
Kini bola panas berada di tangan Dinas Pendidikan dan Aparat Penegak Hukum. Publik menunggu langkah nyata: pemeriksaan, klarifikasi, dan sanksi tegas. Jika tidak, masyarakat berhak menilai bahwa institusi pendidikan dan hukum di Batu Bara telah runtuh wibawanya.
Praktik pungutan liar di sekolah tidak boleh dianggap sepele. Secara hukum, ada payung aturan yang jelas:
1. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menegaskan bahwa komite sekolah maupun pihak sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun yang membebani orang tua atau wali murid.
2. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan:
> Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
3. Pasal 368 KUHP juga menegaskan bahwa tindakan memaksa orang lain memberikan sesuatu dengan dalih apapun bisa dikategorikan sebagai pemerasan dengan ancaman pidana.
Dengan demikian, dalih “suka rela” yang dilontarkan Kabid Dinas Pendidikan justru kontradiktif dengan hukum yang berlaku. Faktanya, siswa dan wali murid tidak diberikan pilihan bebas. Mereka dipaksa mengikuti kegiatan, sehingga pungutan Rp 20.000 itu jelas masuk kategori pungli dan pemerasan terselubung.(RUDI)